Pria Sejati, Wanita Ilhami.

“Mak…ini kain ihram, minyak Hajar Aswad, kafan dan uang shalawat dalam amplop milik siapa?” tanyaku pada Emak sewaktu membantunya merapihkan pakaian selesai menyetrika. “Tanya saja sama Abah?” tutur Emak, yang memang hanya bicara seperlunya saja. “Kenapa Nie? Bengong begitu?” tanya Abah yang tiba-tiba masuk kamar, mengagetkan kami. “Abah….Abahkan sudah sehat. Kenapa semua ini masih disimpan disini?” protesku pada Abah. “Nie…yang paling dekat dengan kita itu, hanya kematian Nak. Yang sehat, yang sakit.. kalau sudah waktunya malaykat maut menjemput ya harus turut… Qullu nafsin daikatul maut. Tidak ada manusia yang bisa menawar kematian Nie.” tutur Abah dengan lembut. “Iya tapi nanti Bah…Abah nggak mau lihat cucu dari Nie?” selorohku. “Nie…ikhlaskan semua. Kamu tetap seorang perempuan dan tetap menjadi seorang ibu apapun keadaannya.” kata Abah sambil memelukku. “Sekarang cepat rapihkan kerjaan Nie. Sebentar lagi magrib. Besok kita ke Passer Baroe ya.” Bujuk Abah menenangkanku.

Di Passer Baroe, kami mampir di restoran, Abah penggemar gulai. Aku takut sekali cholesterol dan darah tingginya yang sudah mengkomplikasi akan kambuh kembali. “ Bah….ganti soto saja jajan nya ya?.” Pintaku hati-hati, karena aku tidak mau menyaksikan Abah hanya memakan nasi yang diseduh air panas saja. “Kamu berani mengatur makanan abah. Kamu silahkan atur pasienmu. Abah bukan pasienmu. Kamu itu sedang cuti!” rajuk Abah dengan raut muka yang tidak enak dipandang. “Maaf Bah. Ayo kita makan lagi. Enak ya gulainya?” Aku mengikuti keinginan Abah saja. “Kamu itu kalau dibilangin orangtua masih suka bantah. Kalau cucu Abah kelak membantah karena benar. Neh Jempol.” kata Abah merasa menang dengan pilihannya. Kami makan dengan lahap. Diluar dugaan Abah pesan beberapa bungkus untuk Emak katanya. “Bah…Cikande itu jauh  dari sini, nanti gulai nya keburu dingin dan santannya basi, nggak ke makan mubazir. Mungkin Emak juga masak?” pintaku untuk membatalkan pesanannya. Aku takut kalau gulai itu bakal jadi santapan malam Abah juga. Bukan pelit, tapi aku kahwatir kondisi kesehatannya. Tadi kuturuti karena aku tidak ingin merusak suasana. “Kita makan enak disini. Nie, nanti kita beli Apel itu ya. Emak mu suka Apel.” Pinta Abah. Subhanallah begitu setianya pria didepanku ini. Selalu saja ingat orang rumah sekalipun langkahnya beribu kilometer jauh dari pintu. Selesai berbelanja kami segera pulang. Sampai dirumah benar saja, sang Ratu sudah menyiapkan makan malam kami. Ternyata itu adalah kenangan cuti terakhir. September 2006 beliau meninggalkan kami untuk selamanya. Sesuai wasiatnya kain ihram ketika kami berhaji di tahun 2000 telah membungkus jasadnya.

Sepeninggal Abah, aku sempat galau siapa yang melanjutkan semua urusanku di tanah air ini? Si bungsu belum dewasa. Emak hanya ibu rumah tangga biasa. Adik perempuanku sibuk dengan keluarganya. Mungkin inilah hikmah Abah dipanggil lebih dulu, agar aku lebih mengenal siapa EMAK ku yang pendiam dan sederhana ini. Perempuan berakhak mulia ini terus mengikat tali silaturrahmi dengan keluarga almarhum Abah. Dengan cerdas dan cekatan mengelola uang kirimanku dan menyiapkan masa depanku. Alhamdulillah aku dikaruniai orang tua yang amanah dan bijaksana. 
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. 
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”




HTML Guestbook is loading comments...

Blog Archive

Koleksi Kisah Fiksi Karya ROSE